Tapi, saya mau agak-agak bandel sedikit di posting ini dengan beberapa pertimbangan:
1. Saya mahasiswa jurusan arsitektur yang sangat tergila-gila dengan film,
2. Saya lagi capek ngerjain tugas besar,
3. Seperti kebanyakan posting di blog saya, posting yang ini pun akan berakhir gaje.
Yuhuuu!
Cukup dengan pembukaan yang menggunakan bahasa baku (pegel loh nulisnya -_-), sekarang kita ber-4L4y ria! Hohoho kidding. Serius, saya bercanda.
Kenapa ya judul posting ini kok agak-agak aneh bin nggak nyambung bin nggak koheren bin Widya banget? Sebenarnya, sebelum nulis posting ini, saya sempet search di Google tentang 'arsitek film', tapi yang keluar malah film-film tentang arsitek. Jadi ceritanya tuh saya mau ikutin istilah 'arsitek sepak bola' gitu, tapi berhubung yang akan saya bahas adalah FILM, ya saya ganti jadi 'arsitek film'. Nah, sekarang jelas kan kenapa yang saya jelasin di pembukaan tadi adalah 'arsitek sepak bola'? Yap, karena saya tahunya cuma itu...
Oke, back to the topic!
Lho, topiknya apa? Yang jelas bukan topik hidayat atau topiku bundar ya! (Itu mah topi saya bundar, Wid--ah, mulai terserang penyakit gaje nih! Jangan kabur dulu ya sebelum selesai membaca posting ini pemirsaaaah!). Topiknya....... ya itu tadi: ARSITEK FILM, atau kalau menurut ke-soktahu-an saya, ini istilah untuk SUTRADARA atau kerennya DIRECTOR.
Alat perang arsitek dan sutradara |
Bagi yang sudah kenal lama sama saya, pasti tahulah cita-cita saya yang sebenarnya adalah berkecimpung di dunia perfilman, entah itu sutradara atau sekadar kru yang kerjanya megang-megang kabel doang. Beberapa teman SMA saya menganjurkan saya untuk melanjutkan ke sekolah film, which was quite impossible because universitas negeri di Indonesia nggak ada yang buka jurusan perfilman. Dulu saya pengen banget masuk universitas negeri untuk meringankan beban orang tua, tapi jurusan yang saya inginkan nggak ada di universitas negeri. Kebayang betapa galaunya saya saat itu? Nggak usah dibayangin, ternyata saya nggak galau-galau banget kok.
Sebelum lanjut, flashback dikit ya. Dulu orang tua saya pengen banget anak sulungnya ini jadi dokter pertama di keluarga karena dari keluarga Mama atau Papa belum ada yang jadi dokter. Saya sih mau-mau aja, dokter bo'! Tapi, kendala paling besar adalah: saya malas. Kendala paling besar kedua: saya nggak suka a.k.a benci dunia akhirat (?) sama biologi. Kendala paling besar ketiga: saya malas (ya, dua dari tiga kendala besar yang bakal jadi pembatas antara saya dan Fakultas Kedokteran adalah MALAS). Jadi, I'm sorry goodbye deh ke FK.
Setelah itu, orang tua saya menyerahkan sepenuhnya masa depan saya kepada saya sendiri. Mereka hanya berperan dalam menunjang, sedangkan saya berperan penuh dalam proses menuju kesuksesan. Akhirnya saya bilang deh tuh ke Mama kalau saya pengen banget jadi filmmaker atau sutradara kayak Steven Spielberg dan Hanung Bramantyo. Beliau setuju-setuju aja, apalagi setelah saya bilang saya mau masuk salah satu universitas di Jakarta yang ada jurusan perfilmannya. Restu sudah didapat, terus apa lagi?
Jengjeng, ternyata universitas yang tadinya saya pilih itu bukan universitas negeri.
Waktu itu, pilihan saya adalah universitas negeri atau jurusan. Kalau mau universitas negeri, yo wes, I should give up about my dream. Kalau lebih pilih jurusannya, saya bisa langsung dapet penghargaan anak paling egois karena nggak mikirin kondisi orang tua saat itu. Gubrak. Sebesar apapun keinginan saya buat masuk sekolah film, itu nggak bisa mengalahkan keinginan saya untuk membahagiakan Mama-Papa.
So, here I am, an architecture student in one of the best state universities in Indonesia :')
Kok jauh amat banting setirnya dari film ke arsitektur? Nanti deh dijelasin, cukup tentang saya, sekarang masuk ke topik utamanya. ("Lho, jadi dari tadi yang dibahas bukan topik utama?! Buset dah ini orang banyak omong banget!" - Jarvis, 4 tahun, laptop saya yang songong)
Arsitek film. Saya menggunakan istilah itu untuk menjelaskan tentang sutradara karena saya adalah mahasiswa arsitektur. Memang nggak nyambung, tapi ya udahlah, saya kan emang demen banget ngomong ngalor ngidul nggak jelas. Arsitek dan arsitek film mempunyai beberapa kesamaan. Pertama, mereka sama-sama manusia. Pernah nggak liat kucing jadi arsitek atau gajah jadi sutradara? Enggak kan? Ya udah.
Ini arsitek (nyomot gambar dari Mbah Gugel) |
Ini arsitek film a.k.a sutradara (maap yak Ben Affleck potonya tak pake, abis kan udah punya, biar nggak nyari di Mbah Gugel lagi -_-) |
Kedua, mereka sama-sama mengepalai atau mengetuai sebuah proyek. Dalam membangun sebuah rumah, leader-nya tak lain dan tak bukan adalah arsitek. Begitu juga dalam membuat sebuah film, pasti yang jadi boss-nya adalah sutradara. Mau desainnya rumit atau biasa aja, terserah arsiteknya. Mau aktornya akting nangis, marah, atau jadi orang gila, sutradara yang mengarahkan.
Dalam membangun rumah, arsitek nggak bekerja sendiri. Ada insinyur, tukang bangunan, dan lain-lain yang membantu. Sutradara juga gitu. Anggaplah si screenwriter (penulis skenario) sama seperti kliennya seorang arsitek. Sutradara mendapat naskah, ia tinggal mengarahkan sesuai naskah tersebut. Tapi, peran sutradara bukan hanya sekadar mengikuti naskah, dia juga berhak untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri. Makanya ikatan antara sutradara, writer, dan produser harus kuat. Kalau naskahnya bagus tetapi sutradaranya nggak berpengalaman, hancurlah film itu.
Kalau sutradara butuh aktor dan aktris untuk memperkuat filmnya, maka arsitek butuh material yang bagus. Coba bayangin kalau yang meranin Iron Man bukan Robert Downey Jr atau Daniel Radcliffe waktu itu nggak kepilih buat jadi Harry Potter. Gubrak moment banget kan? Sama kayak di arsitektur. Kalau Monas dibuat dari kayu? Gubrak moment part 2.
Banyak bangetlah kesamaan antara arsitek dan sutradara. Sekali lagi, saya menulis ini bukan semata-mata untuk membandingkan dua pekerjaan impian itu. Saya cuma ingin nyambung-nyambungin aja karena saya suka dengan arsitektur dan film. Saya memang masih duduk di semester 2 jurusan arsitektur dan pengetahuan saya tentang arsitek maupun arsitektur masih seupritpritprit. Saya akui saya suka menggambar, tapi saya nggak jago. Nah... 'suka' bukan berarti 'bisa' loh ya :)) Mana yang lebih penting: suka atau bisa? Kamu nggak mungkin bisa kalau kamu nggak suka. Kamu nggak mungkin suka kalau kamu nggak bisa. Ah, capek. Intinya, dua hal itu sama-sama penting.
Lanjut. Saya memang bukan mahasiswa jurusan perfilman atau kritikus film, tapi saya cintaaaahhhh dengan film sejak dulu. Mau film itu bagus atau jelek, pasti saya tonton. Saya nonton film sesuka hati, genre yang dipilih sesuai mood, dan seringnya saya nonton film berdasarkan aktornya, bukan review. Saya lebih hapal nama-nama aktor, aktris, atau sutradara ketimbang nama-nama arsitek -_- *gubrak moment part 3*
Oke, kawan, terima kasih sudah
Pesan buat adik-adik yang sedang berjuang untuk masuk universitas negeri: semangat.
Lho, kok loyo banget, Kak? Lagi males pake capslock soalnya ck. Oh iya satu lagi, jangan ikut-ikutan trend masa kini yang apa-apa galau, nggak keren, nggak lucu, dan nggak penting juga.
Misalnya nih, lagi nentuin mau masuk jurusan apa: "Aduh, galau!"
Lagi nentuin mau belajar atau enggak: "Aduh, galau!"
Lagi nentuin mau belajar matematika atau fisika dulu: "Aduh, galau!"
Lagi makan: "Aduh, galau!"
Lagi tidur: "Aduh *ngorok* galau..."
Apapun pilihan kalian, pasti ada hikmahnya kok, nggak kayak posting saya yang ini. Memang sih, harus hati-hati juga pilih jurusan, kalau enggak ya pasti bakal ngalamin gubrak moment. Pokoknya, tetap semangat lah ya!!!
PS: saya lagi
Pics were taken from Google.
nice, saya jg mahasiswa arsitektur yg suka pelem kaya anda
ReplyDelete